TIDAK SEORANGPUN TAHU!
Bacaan:
Tanggal 28/29 November 2020
Rahasia Ilahi itu berdasarkan teks yang kita baca dalam Markus 13:24-32 ialah soal akhir zaman, dan jika kita menarik mundur pembacaan kita, kita bisa melihat di ayat 3 & 4, Petrus, Yakobus, Yohanes dan Andreas bertanya: “kapan semuanya itu akan terjadi? Dan tanda-tanda apakah yang menunjukkan bahwa sudah waktunya?” dan Yesus menjawab dengan begitu panjang hal ini yang pada akhirnya di ayat 32 Dia sendiri mengatakan: “Meskipun begitu, tidak seorang pun tahu kapan harinya atau kapan jamnya. Malaikat-malaikat di surga tidak dan Anak pun tidak, hanya Bapa saja yang tahu.”
Saya yakin ini bukan pertama kali sebagian besar kita membaca perikop ini atau mendengar penjelasan dari perspektif GKI yang menegaskan bahwa” tidak seorang pun tahu. Tetapi berapa banyak di antara kita yang masih mudah digoyahkan dengan pemberitaan-pemberitaan spekulatif tertentu mengenai akhir zaman? Polanya cenderung: pada dua hal penentuan waktu (tanggal, jam) dan kuota terbatas. Dan karena itu tentu bukan tanpa makna jika hari ini kembali menyelami teks Markus 13:24-32 untuk mendapatkan hikmat dan peneguhan sebab rupa-rupanya ada dua bentuk kecenderungan memahami akhir zaman.
Kecenderungan pertama adalah merindukan akhir zaman, ada yang mengistilahkannya Escatofilia. Kelompok orang yang merindukan akhir zaman ini secara sukarela meyakini pemberitaan mengenai akhir zaman lalu memenuhi hal-hal yang dianjurkan oleh sang pemberita untuk mengantisipasi hal tersebut. Apapun akan diusahakan untuk dilakukan untuk memenuhi persyaratan lolos SIM A (Surat Izin Memasuki Akhir Zaman). Motif umum dari si pemberita ialah keuntungan pribadi misalnya mendapatkan pengikut untuk keyakinannya atau uang dengan cara mengiming-imingi investasi kerajaan Allah berdasarkan ayat “janganlah kumpulkan hartamu di dunia, ngengat dan karat merusakkannya”. Ciri khas kelompok ini ialah kepercayaan terhadap waktunya memang belum jelas, tetapi kuotanya terbatas pada ratusan ribu atau beberapa juta orang di antara 7.75 miliar penduduk dunia saat ini.
Kecenderungan kedua adalah yang takut dengan akhir zaman, istilah escatophobia. Orang-orang yang tergolong dalam kelompok ini biasanya memandang pesimistis kehidupan di dunia: dunia ini semakin hari semakin memburuk! Aku akan menarik diri dari dunia ini, masuk ke dalam persembunyian yang akan menjaga kemurnianku. Akhir zaman dipandang sebagai sesuatu yang mengerikan, tetapi bisa dihindari. Hal ini bisa menjadi celah yang sangat besar untuk manipulasi ekonomi dan psikis yang pada akhirnya bermuara pada bunuh diri seperti yang dilakukan Jim Jones dengan 909 pengikutnya pada tahun 1978 di Guyana Amerika Selatan. Tahun 2019 yang lalu juga kita mendengar sejumlah orang menjual dengan murah tanah mereka dan menyerahkan hasilnya kepada seorang pemimpin agama setempat lalu mereka meninggalkan kampungnya di Malang menuju Ponorogo.
Saudara-saudara, hari ini kita memasuki masa Adven yang dalam bahasa Latin adventus artinya kedatangan, pendekatan, dan menyongsong. Empat Minggu ke depan dimasa Adven ini menjadi momen untuk mengenang (anamnesis) akan kelahiran Yesus dan penantian kedatangan Kristus kembali (parousia). Ketika kita merenungkan teks Markus 13 ini untuk saya sampaikan di Minggu pertama Adven, saya teringat bahwa lilin pertama yang dinyalakan biasanya disebut Lilin Pengharapan. Maka pertanyaan utama kita ketika mendekati teks ini adalah: Bagaimana manusia, dalam kecenderungannya untuk mengetahui dengan pasti waktu dan tanda, mengalihkan fokus utamanya kepada menghidupi hari-hari hidupnya dengan penuh harapan? Bagaimana kita yang secara manusiawi ini dihantui kecemasan, bisa memilih berdiri sebagai orang yang memiliki pengharapan? Bagaimana kemudian orang-orang yang meletakkan pengharapannya di dalam Tuhan sekaligus adalah orang yang berjaga-jaga?
Murid-murid yang bertanya kepada Yesus dalam Injil Markus adalah gambaran orang-orang yang begitu merindukan akhir zaman dengan harapan: dibebaskan Allah dari penderitaan dan dipulihkan seutuhnya. Saya teringat dalam beberapa kali kunjungan terhadap orang sakit, ada yang mengatakan: Tuhan, ambillah aku dan biarlah aku tenang dari penderitaan ini. Perjumpaan dengan Tuhan adalah perjumpaan yang menenangkan. Inilah yang juga dibayangkan oleh orang-orang yang menderita karena persekusi di bawah pemerintahan Kaisar Nero: kehidupan akan lebih tenang ketika berjumpa dengan Tuhan, dan saat itu yang dibayangkan adalah Akhir Zaman.
Walau demikian, apa yang ditawarkan Yesus justru bukan bicara sebagai Akhir Zaman, melainkan zaman yang baru yang digambarkan dengan pohon ara yang bertunas: musim dingin yang mencekam sudah berlalu, kehidupan baru mulai tumbuh. Pohon ara itu akan tumbuh dan menjadi besar, menjadi tempat perlindungan, sebuah keadaan yang penuh damai sejahtera, sukacita. Bukankah ini maksud kedatangan Tuhan: memberi damai sejahtera dan sukacita. Kalau begitu tujuannya Allah, saudara-saudara, bagaimana bisa kita menjalani hari-hari hidup dengan kecemasan dan ketidaksukacitaan? Itu karena kita gagal fokus dari apa yang dapat kita ketahui dengan pasti: hari ini dan bagaimana kita menjalani hari-hari hidup kita.
Ketika kita memilih untuk fokus pada hari ini, menjalani hari-hari hidup kita dengan apa yang Tuhan sudah percayakan, inilah yang dimaksud dengan kata “berjaga-jaga”. Ada seorang tuan yang bepergian setelah memberi tugas kepada masing-masing hambanya. Tuan itu akan kembali dan memeriksa, siapa yang lalai dan siapa yang mengerjakan bagiannya dengan baik. Perhatikan saudara, ada “ruang antara” satu waktu dengan waktu yang lain: waktu memberikan tugas lalu pergi, dengan waktu kembali untuk memeriksa. Saudara-saudara, di ruang antara satu waktu ke waktu yang lain inilah tempat kita untuk berkarya dan kalau kita ingat tujuan kedatangan Nya kembali adalah untuk memberi damai sejahtera dan sukacita, maka sudah sewajarnya kita menjalani tanggungjawab kita dengan damai sejahtera dan sukacita.
Bayangkan betapa indahnya jika:
Dalam relasi anak-orang tua, pasangan, persahabatan, komunitas kita memilih melakukan sesuatu karena damai dan sukacita. Di sana akan terdapat apresiasi yang mengimbangi kritik, usaha untuk melangkah extra mile,keinginan untuksalingmembangun.
Dalam pengambilan keputusan sebagai pribadi atau sebagai pemangku jabatan, pilihan-pilihan kita lahir dari ketenangan batin, bukan karena kebisingan hal-hal di luar diri.
Dengan demikian, kita bisa berkata: aku tidak tahu waktu-Nya, mungkin tidak paham tanda-tanda-Nya, tetapi aku tahu kehendak-Nya dalam aku menjalani hidup, yaitu: hidup dalam pengharapan dan berjaga-jaga dengan cara menjalani tanggungjawabku dengan damai sejahtera dan sukacita. (Rbk)